Perjalanan Hidup Imam Ahmad bin Hanbal |
Imam madzhab yang empat mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang saling melengkapi antara satu dan yang lainnya. Imam Abu Hanifah adalah penggerak dalam ilmu fikih dan membangun dasar-dasar dalam mempelajari fikih. Imam Malik adalah seorang guru besar hadits yang pertama kali menyusun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu buku. Imam Syafii merupakan ulama cerdas yang meletakkan rumus ilmu ushul fikih, sebuah rumusan yang membangun fikih itu sendiri.
Artikel ini akan mengenalkan kepada pembaca tokoh keempat dari imam-imam madzhab, dialah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau ialah spesialis fikih sekaligus pakar hadits di zamannya. Perjuangan besarnya yang selalu dikenang sepanjang masa ialah usaha membela kepercayaan yang benar. Sampai-sampai ada yang menyatakan, Imam Ahmad menyelamatkan umat Muhammad untuk kedua kalinya. Pertama, Abu Bakar menyelematkan kepercayaan umat ketika Rasulullah wafat dan yang kedua Imam Ahmad lantang menyerukan kepercayaan yang benar ketika keyakinan sesat khalqu Quran mulai dilazimkan.
Nasab dan Masa Kecilnya
Beliau ialah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani. Imam Ibnu al-Atsir mengatakan, “Tidak ada di kalangan Arab rumah yang lebih terhormat, yang ramah terhadap tetangganya, dan berakhlak yang mulia, daripada keluarga Syaiban.” Banyak orang besar yang terlahir dari kabilah Syaiban ini, di antara mereka ada yang menjadi panglima perang, ulama, dan sastrawan. Beliau ialah seorang Arab Adnaniyah, nasabnya bertemu denga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi sentra peradaban dunia dimana para jago dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk berguru ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang mempunyai tradisi menjadi orang besar, kemudian tinggal di lingkungan sentra peradaban dunia, tentu saja menimbulkan Imam Ahmad mempunyai lingkungan yang sangat aman dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.
Imam Ahmad berhasil menghafalkan Quran secara tepat ketika berumur 10 tahun. Setelah itu ia gres memulai mempelajari hadits. Sama halnya menyerupai Imam Syafii, Imam Ahmad pun berasal dari keluarga yang kurang bisa dan ayahnya wafat ketika Ahmad masih belia. Di usia remajanya, Imam Ahmad bekerja sebagai tukang pos untuk membantu perekonomian keluarga. Hal itu ia lakukan sambil membagi waktunya mempelajari ilmu dari tokoh-tokoh ulama hadits di Baghdad.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Guru pertama Ahmad bin Hanbal muda ialah murid senior dari Imam Abu Hanifah yakni Abu Yusuf al-Qadhi. Ia berguru dasar-dasar ilmu fikih, kaidah-kaidah ijtihad, dan metodologi kias dari Abu Yusuf. Setelah memahami prinsip-prinsip Madzhab Hanafi, Imam Ahmad mempelajari hadits dari spesialis hadits Baghdad, Haitsam bin Bishr.
Tidak cukup menimba ilmu dari ulama-ulama Baghdad, Imam Ahmad juga menempuh safar dalam mempelajari ilmu. Ia juga pergi mengunjungi kota-kota ilmu lainnya menyerupai Mekah, Madinah, Suriah, dan Yaman. Dalam perjalanan tersebut ia bertemu dengan Imam Syafii di Mekah, kemudian ia manfaatkan kesempatan berharga tersebut untuk menimba ilmu dari dia selama empat tahun. Imam Syafii mengajarkan cowok Baghdad ini tidak hanya sekedar mengahfal hadits dan ilmu fikih, akan tetapi memahami hal-hal yang lebih mendalam dari hadits dan fikih tersebut.
Walaupun sangat menghormati dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama Madzhab Hanafi dan Imam Syafii, namun Imam Ahmad mempunyai arah aliran fikih tersendiri. Ini menawarkan bahwa dia ialah seorang yang tidak fanatik dan membuka diri.
Menjadi Seorang Ulama
Setelah berguru dengan Imam Syafii, Imam Ahmad bisa secara berdikari merumuskan pendapat sendiri dalam fikih. Imam Ahmad menjadi spesialis hadits sekaligus jago fikih yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berebagai penjuru negeri Islam. Terutama sehabis Imam Syafii wafat di tahun 820, Imam Ahmad seperti menjadi satu-satunya sumber acuan utama bagi para penuntut ilmu yang senior maupun junior.
Dengan ketenarannya, Imam Ahmad tetap hidup sederhana dan menolak untuk masuk dalam kehidupan yang mewah. Beliau tetap rendah hati, menghindari hadiah-hadia terutama dari para tokoh politik. Beliau khawatir dengan mendapatkan hadiah-hadiah tersebut menghalanginya untuk bebas dalam beropini dan berdakwah.
Abu Dawud mengatakan, “Majelis Imam Ahmad ialah majelis akhirat. Tidak pernah sedikit pun disebutkan kasus dunia di dalamnya. Dan saya sama sekali tidak pernah melihat Ahmad bin Hanbal menyebut kasus dunia.”
Masa-masa Penuh Cobaan
Pada tahun 813-833, dunia Islam dipimpin oleh Khalifah al-Makmun, seorang khalifah yang terpengaruh aliran Mu’tazilah. Filsafat Mu’tazilah memperjuangkan tugas rasionalisme dalam semua aspek kehidupan, termasuk teologi. Dengan demikian, umat Islam dihentikan hanya mengandalkan Quran dan sunnah untuk memahami Allah, mereka diharuskan mengandalkan cara filosofis yang pertama kali dikembangkan oleh orang Yunani Kuno. Di antara pokok keyakinan Mu’tazilah ini ialah bahwa meyakini bahwa Quran ialah sebuah buku dibuat, artinya Quran itu ialah makhluk bukan kalamullah.
Al-Makmun percaya pada garis utama aliran Mu’tazilah ini, dan ia berusaha memaksakan keyakinan gres dan berbahaya tersebut kepada semua orang di kerajaannya –termasuk para ulama. Banyak ulama berpura-pura untuk mendapatkan ide-ide Mu’tazilah demi menghindari penganiayaan, berbeda halnya dengan Imam Ahmad, dia dengan tegas menolak untuk berkompromi dengan keyakinan sesat tersebut.
Al-Makmun melembagakan sebuah inkuisisi (lembaga penyiksaan) dikenal sebagai Mihna. Setiap ulama yang menolak untuk mendapatkan ide-ide Muktazilah dianiaya dan dieksekusi dengan keras. Imam Ahmad, sebagai ulama paling populer di Baghdad, dibawa ke hadapan al-Makmun dan diperintahkan untuk meninggalkan keyakinan Islam fundamentalnya mengenai teologi. Ketika ia menolak, ia disiksa dan dipenjarakan. Penyiksaan yang dilakukan pihak pemerintah ketika itu sangatlah parah. Orang-orang yang menyaksikan penyiksaan berkomentar bahwa bahkan gajah pun tidak akab bisa bertahan kalau disiksa sebagaimana Imam Ahmad disiksa. Diriwayatkan sebab keras siksaannya, beberapa kali mengalami pingsan.
Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap memegang teguh keyakinannya, memperjuangkan kepercayaan yang benar, yang demikian benar-benar menginspirasi umat Islam lainnya di seluruh wilayah Daulah Abbasiah. Apa yang dilakukan Imam Ahmad menawarkan bahwa umat Islam tidak akan mengorbankan kepercayaan mereka demi menyenangkan otoritas politik yang berkuasa. Pada akhirnya, Imam Ahmad hidup lebih usang dari al-Makmun dan Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri Mihna pada tahun 847 M. Imam Ahmad dibebaskan, dia pun kembali diperkenankan mengajar dan berceramah di Kota Baghdad. Saat itulah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang populer itu ditulis.
Wafatnya Imam Ahmad
Imam Ahmad wafat di Baghdad pada tahun 855 M. Banan bin Ahmad al-Qashbani yang menghadiri pemakaman Imam Ahmad bercerita, “Jumlah pria yang mengantarkan mayit Imam Ahmad berjumlah 800.000 orang dan 60.000 orang perempuan .”
Warisan Imam Ahmad yang tidak hanya terbatas pada permasalahn fikih yang ia hasilkan, atau hanya sejumlah hadits yang telah ia susun, namun dia juga mempunyai tugas penting dalam melestarikan kesucian keyakinan Islam dalam menghadapi penganiayaan politik yang sangat intens. Kiranya inilah yang membedakan Imam Ahmad dari ketiga imam lainnya.
Selain itu, meskipun secara historis Madzhab Hanbali ialah madzhab termuda dalam empat madzhab yang ada, banyak ulama besar sepanjang sejarah Islam yang sangat terpengaruh oleh Imam Ahmad dan pemikirannya, seperti: Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Katsir, dan Muhammad bin Abd al-Wahhab.
Semoga Allah Ta’ala mendapatkan amalan Imam Ahmad bin Hanbal dan menempatkannya di surge yang penuh kenikmatan.
Sumber:
– Islamstory.com
– Lostislamichistory.com